Jumat, 07 Januari 2011

KONTROVERSI INDUSTRI KELAPA SAWIT DAN BERBAGAI PERMASALAHANNYA

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar mata pencaharian masyarakat bergantung pada bidang pertanian. Sangat banyak komoditas pertanian yang telah dikembangkan di Indonesia, salah satunya adalah kelapa sawit.
Komoditas ini semakin dikembangkan dan diperluas karena memiliki banyak keunggulan, salah satunya adalah kedudukannya sebagai komoditas ekspor nasional. Selama bertahun-tahun, kelapa sawit memainkan peranan penting dalam perekonomian Indonesia dan merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa. Disamping memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap devisa negara, perannya cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Salah satu hasil dari komoditas kelapa sawit adalah minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Sektor minyak kelapa sawit Indonesia mengalami perkembangan yang berarti, hal ini terlihat dari produksi minyak sawit (crude palm oil/CPO) yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dari 19,2 juta ton pada 2008 meningkat menjadi 19,4 juta ton pada 2009. Sementara total ekspornya juga meningkat, pada 2008 tercatat sebesar 18,1 juta ton kemudian menjadi 14,9 juta ton sampai dengan September 2009. Sampai saat ini Indonesia masih menempati posisi teratas sebagai negara produsen minyak kelapa sawit (CPO) terbesar dunia, dengan produksi sebesar 19,4 juta ton pada 2009. Dari total produksi tersebut diperkirakan hanya sekitar 25% sekitar 4,8 juta ton yang dikonsumsi oleh pasar domestik. Sehingga sebagai penghasil CPO terbesar di dunia, Indonesia terus mengembangkan pasar ekspor baru untuk memasarkan produksinya.
Namun seiring dengan perkembangan industri kelapa sawit yang semakin pesat, berbagai permasalahan pun muncul. Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya dapat mengganjal produksi sawit nasional.
II. PEMBAHASAN
2.1 Awal Perkembangan Perkebunan Sawit di Indonesia
Kelapa sawit merupakan komoditas yang berasal dari Afrika Barat dan didatangkan pada tahun 1848 ke Indonesia oleh pemerintah Kolonial Belanda. Awalnya kelapa sawit didatangkan sebagai tanaman hias langka di Kebun Raya Bogor, barulah pada tahun 1911 kelapa sawit dibudidayakan secara komersial dalam bentuk perusahaan perkebunan. Perkembangan kelapa sawit terus mengalami pasang surut. Data yang diperoleh dari Direktorat Jendral Perkebunan (2007) menyebutkan bahwa produksi dan ekspor kelapa sawit dari tahun 1916 sampai tahun 2006 menunjukkan angka yang sangat signifikan dan fantastis terutama antara tahun 1990 sampai tahun 2006, total luas areal dari 1.126.677 ha menjadi 6.074.926 ha, sedangkan untuk produksi minyak sawit meningkat dari 7.000.508 ton menjadi 16.000.211 ton dan ekspornya dari 4.110.027 ton menjadi 12.101.000 ton. Dari jumlah tersebut sejumlah 4.582.733 ha atau 75,4 % berada di Pulau Sumatera dengan lahan terluas di Provinsi Riau yaitu 1.409.715 ha, data mengenai ekspor CPO tahun 2005 menunjukkan bahwa India merupakan negara tujuan ekspor terbesar yaitu dengan jumlah volume 1.786.000 ton, sedangkan untuk Eropa, Belanda merupakan negara tujuan ekspor terbesar yaitu 493.000 ton.
Sejak masa kolonial sampai sekarang, sejarah Indonesia tidak dapat lepas dari sektor perkebunan. Bahkan sektor ini memiliki arti sangat penting dan menentukan dalam realita ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit memegang peran strategis dalam pembangunan di Indonesia.

2.2 Industri Kelapa Sawit dan Permasalahannya
Penggunaan biofuel sebagai pengganti bahan bakar fosil telah menjadi tren di berbagai belahan dunia. Setiap negara berupaya memproduksi bahan bakar nabati yang dapat diperbaharui tersebut, mulai dari AS dengan ethanol dari rapeseed oil dan canola oil, Brasil-yang merajai dunia dengan bioethanol tebu, Malaysia dengan biodiesel dari kelapa sawit atau Philipina yang mulai memberdayakan kelapa menjadi coconut oil. Sedangkan Indonesia, sebagai salah satu produsen besar kelapa sawit, tentu saja CPO yang dipilih untuk bahan biofuel. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi indonesia memutuskan untuk menjadikan kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel. Faktor utama yaitu, posisi Indonesia sebagai produsen CPO kedua di dunia setelah Malaysia, bahkan negeri ini berambisi menggeser Malaysia dan menjadi produsen CPO nomor satu dunia. Ambisi tersebut bukan tanpa alasan, potensi itu memang ada di Indonesia. Sebut saja lahan hingga tahun 2006, luas lahan yang masih dapat dimanfaatkan untuk kebun kelapa sawit mencapai 31,7 ha sedangkan luas lahan kelapa sawit Indonesia saat ini 5,4 juta ha dan akan ditambah dengan 3,5 ha lahan pada tahun mendatang . Khusus kelapa sawit untuk energi, pemerintah pun mengembangkan lahan dari 17.000 ha pada tahun 2006 menjadi 135.000 ha hingga 2010 .
Faktor lain yang mendorong pemerintah untuk mengembangkan kelapa sawit, diantaranya harga CPO dunia yang cenderung semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kelapa sawit juga merupakan salah satu bibit minyak yang paling produktif di dunia. Penyerapan tenaga kerja di sektor ini juga cukup tinggi. Lahan kelapa sawit seluas 210 ribu ha dapat menyerap sekitar 105 ribu tenaga kerja.
Namun, pemanfaatan kelapa sawit untuk biofuel juga memerlukan pemikiran lebih mendalam lagi. Pada kenyataannya, keuntungan yang diperoleh dari pengembangan kelapa sawit tidak sepadan dengan kerugian dan permasalahan yang diakibatkannya. Kerugian yang bersifat masif dan berbagai permasalahan yang timbul, haruslah mendapat prioritas. Kerugian yang dapat ditimbulkan, antara lain :


a. Deforestasi Hutan
Perlu kita diketahui bahwa laju deforestasi hutan di Indonesia tahun 2005 menduduki tempat kedua setelah Brasil dengan angka deforestasi hutan primer di Indonesia mencapai 1,47 juta ha. Sehingga pantas jika kita mendapat predikat tersebut, luas hutan yang rusak di Indonesia sudah sampai pada angka 107 juta ha bahkan 70% hutan primer hilang akibat berbagai kegiatan pembukaan hutan .
Pembukaan lahan kelapa sawit di Indonesia umumnya dengan mengkonversi hutan alam yang ada dan jika hal tersebut tidak segera dihentikan, bisa jadi kita akan impor hutan dalam hitungan tahun ke depan. Hilangnya 40% dari 128 ribu ha luas hutan didaerah konservasi taman nasional Keremutan Riau, yang beralih fungsi menjadi kelapa sawit merupakan salah satu bentuk konversi hutan menjadi kelapa sawit yang merugikan. Industri kelapa sawit ikut terlibat dalam pembabatan area hutan seluas 390 ribu ha, belum termasuk 834.249 ha hutan yang telah beralih ke pemegang HPH. Kondisi serupa juga terjadi di Kalimantan Barat, mega proyek kelapa sawit yang dicanangkan pemerintah di perbatasan Kalimantan Barat dengan alih-alih mengurangi tindakan illegal logging telah menyebabkan penurunan area hutan secara signifikan. Tingkat deforestasi hutan di Kalimantan barat saat ini telah mencapai angka 73.42%.
Kecenderungan peningkatan deforestasi hutan di Indonesia harus segera dihentikan, konversi hutan untuk kelapa sawit bijaknya harus dipikir ulang. Bukan tanpa alasan jika banjir, tanah longsor, kemarau berkepanjangan hingga perubahan iklim dan pemanasan global merupakan akibat yang ditimbulkan dari deforestasi hutan.
b. Konflik Lahan
Pengembangan kelapa sawit juga menyebabkan terjadinya konflik antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Salah satu konflik yang kerap terjadi yaitu perebutan lahan. sebagai contoh, kasus pengambil alihan kembali lahan seluas 4100 ha milik 1200 KK warga suku Talang Mamak, Riau dari PT. Inecda Plantation. Warga meminta tanahnya dikembalikan karena janji perusahaan untuk memberikan 1600 ha lahan kelapa sawit belum juga dilaksanakan. Kasus lain terkait perampasan lahan yaitu kasus perebutan lahan 1400 ha yang digunakan PT. Rawa Wastu Kencana untuk kebun kelapa sawit atau tuntutan pengembalian tanah ulayat warga atas perampasan yang dilakukan oleh PT. Alamraya Kencana Mas (AKM) Pamukan, Banjarmasin.
Pengalihan hak milik tanah dari masyarakat lokal kepada perusahaan industri kelapa sawit baik untuk lokasi pabrik ataupun untuk perkebunan sering menimbulkan perselisihan. Kesepakatan yang ada ternyata lebih menguntungkan perusahaan dibanding masyarakat lokal. Kondisi inilah yang memicu timbulnya konflik antara masyarakat pemilik lahan dengan perusahaan.
c. Konflik Pekerja
Permasalahan terkait pemenuhan hak normatif pekerja seperti upah atau kebebasan berserikat sering menimbulkan konflik pekerja dengan perusahaan. Kebanyakan perusahaan kelapa sawit dibangun di lokasi dengan tingkat SDM yang rendah, kondisi ini memungkinkan terjadinya praktek penyimpangan terhadap pekerja bahkan tak jarang perusahaan mengganggap mereka tidak terampil sehingga mendiskriminasikan mereka.
Sebut contoh, upah yang diberikan perusahaan PT. Agro Indomas Kalimantan, berdasarkan laporan dari DTE, pekerja hanya diberi upah Rp.10.500,00/bulan jauh lebih sedikit jika dibandingkan mereka mengolah lahan sendiri dengan hasil bisa mencapai Rp.15.000 sampai Rp.30.000/harinya. Atau kasus yang sempat menjadi perhatian internasional hingga laporannya sampai ke ILO, yaitu konflik pekerja di PT. Musim Mas Riau. Perusahaan berkali-kali membubarkan serikat pekerja hingga pada 13 September - 16 Desember 2005 terjadi unjuk rasa dan mogok kerja serta penangkapan pimpinan serikat pekerja pada 15 September 2005. Selama aksi mogok tersebut, 3 pekerja meninggal, 1180 di-PHK dan 260 anak pekerja yang bersekolah di lingkungan perusahaan diusir serta 700 Kepala Keluarga pekerja yang menempati rumah dinas perusahaan diusir.
d. Kerusakan Lahan
Sistem tanam kelapa sawit bersifat monokultur dan sistem tanam homogenitas ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lahan. Unsur hara jenis tertentu yang diserap terus menerus oleh kelapas sawit menyebabkan tidak seimbangnya unsur hara yang terkandung dalam tanah jika suatu saat lahan tersebut tidak dimanfaatkan lagi untuk kebun kelapa sawit. Kondisi lahan juga akan semakin memburuk dengan penggunaan pestisida baik paraquat ataupun glifosat yang digunakan pada kelap sawit dalam jangka panjang secara akumulatif dapat menyebabkan pencemaran pada lahan.
e. Konflik Petani Lokal
Konflik dengan petani lokal pun juga terjadi terkait dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sistem Perkebunan Inti Rakyat atau PIR untuk memberdayakan petani lokal juga tidak menguntungkan petani sepenuhnya. Kesepakatan baik pemanfaatan lahan, biaya operasional ataupun harga jual kelapa sawit ternyata tidak sesuai dengan perjanjian yang dilakukan bersama.
Berbagai kasus muncul terkait hal tersebut. Misalnya, keluhan petani Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat yang harus menyerahkan 7,5 ha lahan pribadi agar dapat menjadi anggota PIR tetapi masih dikenakan kredit dari 2 ha kebun plasma yang diterimanya dengan biaya Rp 5,6 juta/ha atau sekitar 11,2 juta/KK. Diperparah lagi dengan harga jual tandan buah segar (TBS) yang berkisar Rp 200-350 per Kg sehingga rata-rata pendapatan sebulan mereka hanya Rp 40 ribu-Rp 90 ribu. Kondisi serupa juga dialami petani plasma Kabupaten Sintang, TBS yang dijual ke perusahaan juga hanya dihargai Rp 200 per kg sehingga pendapatan mereka hanya berkisar Rp 40-70 ribu/bulan, hal tersebut juga yang mendorong warga melakukan tuntutan ke perusahaan sawit.
f. Biodiversity Loss
Terjadinya deforestasi hutan baik akibat pembukaan lahan atau kegiatan lain praktis mengganggu populasi jenis spesies tanaman dan hewan yang hidup di dalamnya. Akibatnya, kehidupan mereka terancam dan akhirnya menuju pada kondisi biodiversity loss. Kondisi ini akan semakin parah jika konversi hutan untuk kelapa sawit terus dilakukan. Sebagai contoh, jumlah orang utan di Sumatera dalam 15 tahun terakhir berkurang 5000 ekor/tahunnya. Bahkan 90% habitat orang utan di sana telah hilang, dengan kondisi ini diperkirakan pada 12 tahun ke depan orang utan Sumatera akan punah.
Contoh lain di taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah tempat perlindungan sekitar 6000 orang utan Kalimantan, 380 ha dari 415 ribu ha lahannya digunakan sebagai lahan kelapa sawit oleh PT. Wana Sawit.
g. Krisis Air
Penelitian lingkungan yang dilakukan Universitas Riau menunjukkan bahwa satu batang kelapa sawit menyerap 12 liter air/hari atau 360 liter/bulan jadi dengan jarak tanam sawit 9m x 9m, dalam 1 ha lahan terdapat sekitar 143 batang maka untuk lahan 1 ha per bulannya menyerap air 51.480 liter. Padahal saat ini terdapat 5,4 juta ha lahan kelapa sawit. Kondisi ini pelan tapi pasti berdampak pada berkurangnya volume air tanah yang pada akhirnya menyebabkan krisis air.
Sebagai contoh, kasus krisis air di Riau. Luas total lahan kelapa sawit di Riau mencapai 1,8 juta ha, jika jumlah tanaman kelapa sawit sekitar 235 juta, dalam satu hari air yang terserap mencapai 2,8 milyar liter.
Di Bengkalis, 4000 penduduknya mengalami kekurangan air bersih pada 3 bulan pertama tahun 2005. Kondisi ini akan bertambah buruk dalam 10-15 tahun ke depan mengingat 95% dari 4,3 juta ha hutan di Riau telah rusak yang diakibatkan salah satunya oleh konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit.
2.3 Solusi Menghadapi Permasalahan Industri Sawit
Untuk menghadapi berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh industri kelapa sawit, terdapat beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi permasalahan yang ada, antara lain :
a. Mengurangi Asap
Setiap tahunnya asap yang menyesakkan menyebar ke sebagian besar daerah Asia Tenggara. Walau sebagian merupakan akibat dari kebakaran hutan dan lahan gambut, beberapa dari polusi tersebut berasal dari vegetasi yang terbakar di perkebunan kelapa sawit. Dampak ini dapat dikurangi dengan menggunakan teknik "zero burning replanting" yang dilakukan pertama kali oleh Golden Hope Plantations.
Bukannya membakar kelapa sawit yang tak produktif, Golden Hope memotong, menngiris-iris, dan membiarkannya membusuk. Ini membantu menyuburkan tanah untuk tanaman untuk ke depannya - memperpendek masa kosong dna mengurangi kebutuhan akan pupuk kimiawi dan mengurangi baik "asap" dan emisi gas rumah kaca. Lebih lanjut, menurut teknik tanpa-pembakaran, pembersihan lahan lebih murah (menghemat USD 300-400 per hektar di biaya penanaman) dan tak tergantung pada kondisi cuaca. Kekhawatiran akan serangan serangga bisa dikurangi dengan menggunakan tanaman polong-polongan, yang juga memperbaiki nitrogen dan meningkatkan kualitas tanah.
b. Pengendalian Hama
Monokultur di iklim tropis sering mengalami masalah hama - tidak terkecuali perkebunan kelapa sawit. Secara umum, pemilik perkebunan adalah pengguna berat pestisida yang mengotori aliran air dan mempengaruhi kehidupan liar setempat.
Golden Hope telah mengambil pendekatan yang berbeda. Ia telah mengurangi penggunaan kimia dengan cara fokus pada pengendalian biologis, termasuk penggunaan serangga, burung, dan jamur untuk mengatasi hama kelapa sawit umumnya. Golden Hope membangun kotak-kotak rumah burung hantu untuk menarik para burung hantu pemakan hewan pengerat dan menanam spesies pepohonan asli untuk menarik kelelawar dan pemakan serangga lainnya. Saat pestisida benar-benar dibutuhkan, perusahaan menggunakan aplikasi insektisida yang benar-benar terpilih untuk mengontrol hasil terburuk. Karena itu tergantung pada deteksi awal dari hama, aplikasi skala besar jarang dibutuhkan.
c. Penghijauan hutan kembali
Golden Hope mendukung penghijauan hutan kembali di hutan-hutan cadangan, di lereng yang curam, dan di lahan dekat daerah tangkapan, menggunakan spesies setempat - terutama mereka yang memiliki nilai-nilai komersil, medis, kuliner, dan ekologis. Tentang daerah-daerah yang ditanami ini, bertujuan untuk meningkatkan sisi menarik mereka dan kemampuan untuk mendukung keberagaman fauna dengan cara menanam spesies pohon makanan yang khas di daerah tersebut dan mendorong burung-burung migran untuk tinggal disana dengan membangun tenggeran-tenggeran dan memelihara pohon-pohon tinggi yang mati.
d. Keadilan Sosial
Sebagian dari masalah terbesar yang terkait dengan produksi minyak kelapa adalah masalah sosial. Walau jelas bahwa perkebunan kelapa sawit memberikan lapangan kerja yang dibutuhkan di Indonesia-terutama Borneo, ada beberapa pertanyaan mengenai keadilan sistem yang ada, yang kadang tampak menjebak para pemilik kebun kecil pada kondisi yang mirip perbudakan. Maka diperlukan perubahan terhadap sistem dalam industri sawit sehingga permasalahan sosial dapat dihindari.
e. Menjaga Hutan Alami
Langkah paling penting dalam mengurangi dampak lingkungan dari minyak kelapa adalah pelarangan terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan alami dan lahan gambut. Pengolahan kelapa sawit di kawasan seperti itu lebih banyak merusak, bukannya mendatangkan kebaikan, baik melalui berkurangnya keanekaragaman hayati dan pelayanan ekologikal (hutan alami) atau melalui pelepasan sejumlah besar karbon dioksida (pengubahan lahan gambut). Perkebunan kelapa sawit seharusnya diarahkan pada lahan pertanian yang ada dan kawasan yang gundul dan telah terdegradasi dengan parah.
Memelihara hutan alami di dekat perkebunan kelapa sawit cukup penting, karena hutan menjadi tempat bernaung para predator hama kelapa sawit dan dapat mengurangi erosi tanah di bagian sisi bukit dan kawasan penangkapan air, sementara juga memperlambat dan mengurangi air yang terbuang.
f. Teknik Lain
Di banyak daerah di Indonesia, dimana terjadi ekspansi perkebunan paling cepat, ada beberapa kekhawatiran serius mengenai dampak kelapa sawit pada tabel air. Resiko dapat diminimalisir dengan mengatur penggunaan air secara hati-hati melalui sistem irigasi dan reservoir. Untuk mengurangi erosi, dapat menggunakan terasering untuk tumbuhan biji-bijian, yang juga meningkatkan keanekaragaman hayati dan kesuburan tanah.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut :
1. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama yang memainkan peranan penting dalam perekonomian Indonesia dan merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa.
2. Namun seiring dengan perkembangan industri kelapa sawit yang semakin pesat, berbagai permasalahan pun muncul, antara lain deforestasi hutan, konflik lahan, konflik pekerja, kerusakan lahan, konflik petani lokal, biodiversity loss, dan krisis air.
3. Solusi yang dapat diambil untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada, yaitu mengurangi asap, pengendalian hama, teknik lain, penghijauan hutan kembali, keadilan sosial, dan menjaga hutan alami.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. Industri Palm Oil Di Indonesia. http://www.datacon.co.id. Diakses pada tanggal 19 Desember 2010.
Anonim, 2009. Perkebunan Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq). http://pekebunan.blogspot.com. Diakses pada tanggal 19 Desember 2010.
Anonim, 2010. Isu Lingkungan Ganjal Produksi Sawit Nasional. http://bataviase.co.id/. Diakses pada tanggal 19 Desember 2010.
Anonim, 2010. Kontroversi Industri Sawit Sepanjang Tahun 2010. http://www.yahoo.com. Diakses pada tanggal 19 Desember 2010.
Anonim, 2010. Minyak kelapa Tidak Harus Buruk Bagi Lingkungan. http://world.mongabay.com. Diakses pada tanggal 19 Desember 2010.
Anonim, 2010. No Sawit For Biofuel. http://csrreview-online.com. Diakses pada tanggal 19 Dsesember 2010.
Anonim, 2010. Potensi Konflik Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit. http://annisaafillah.wordpress.com. Diakses pada tanggal 19 Desember 2010.
Daniri, A., 2010. Industri Sawit Limbung-Didera Isu Lingkungan. http://www.madani-ri.com. Diakses pada tanggal 19 Desember 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar